Senin, 14 September 2009
Sabtu, 11 Juli 2009
Capacity Building Management RG
Semenjak hari jumat tanggal 10 Juli 2009 sampai hari senin, 13 Juli 2009 Pusat Studi Wanita UNISMA mengikuti kegiatan Capacity Building Management responsive Gender yang diselenggarakan oleh Equality Learning of Islamic School (ELOIS ) bekerjasama dengan seluruh PSW-PSG se Indonesia yang tergabung dalam Tim Konsorsium PSW-PSG ELOIS LAPIS. Mereka adalah PSG IAIN Semarang, PSW UIN Yogyakarta, , PSW IAIN Surabaya, PSW IAIN Mataram dan PSW STAIN Watanpone Bone Sulawesi Selatan. Kegiatan ini berlangsung di Hotel Surabaya Plaza Hotel yang berlokasi di Jl. Pemuda 31-37 Surabaya.
[ Baca Selengkapnya... ]
Kegiatan ini dilaksanakan dengan dasar pertimbangan bahwa selama beberapa tahun belakangan ini indonesia terutama sekali dunia pendidikan mengalami dampak dari krisis ekonomi global. Sehingga jangankan berbicara daya saing kuaitas pendidikan Indonesia, bertahan dari hantamna krisis saja, membutuhkan tenaga, biaya dan perhatian yang ekstra serius. Pemerintah telah berusaha memberikan solusi dan terobosan dalam rangka mengatasi dan meminimalisir dampak krisis itu dengan cara menyalurkan Dana Operasional Sekolah ( BOS ) Bantuan Operasional Manajemen (BOM) dan beasiswa pada siswa yang kurang mampu. Hanya saja bantuannya ini sifatnya hanya sementara dan temporer saja karena tidak langsung memperbaiki kondisi yang sangat dibutuhkan oleh madrasah.
Berkumpulnya para pengurus PSW dan trainer yang berada di bawah pembinaan ELOIS LAPIS di Surabaya ini merupakan bentuk ikhtiar untuk membenahi kesulitan dan kekurangan yang terjadi di kalangan madrasah. Hadir juga dalam kesempatan ini adalah lembaga Mitra yang senantiasa menjadi sumber belajar para trainer dan pengurus PSW dalam melakukan kaji tindak terhadap program yang akan dibuat selama kegiatan ini berlangsung. Lembaga Mitra itu adalah MIN Malang I yang secara kualitas sudah terbukti keunggulan dan kualitasnya baik dalam ranah prestasi akademik maupun prestasi non akademik. Di samping MIN Malang I, ikut diundang juga Kepala Mapenda dari berbagai wilayah Indonesia meliputi Mapenda Mataram, Surabaya, Malang, Bone dan Semarang, juga perwakilan dari madrasah mitra dari gresik dan sidoarjo . Selama 4 hari ini semua peserta diharapkan mampu menghasilkan tools yang bisa diterapkan oleh madrasah binaan masing-masing PSW untuk meningkatkan kinerja dan kualitas madrasah itu sendiri. Berikut ini adalah gambar-gambar kegiatan capacity building sampai hari ketiga ini:
Berkumpulnya para pengurus PSW dan trainer yang berada di bawah pembinaan ELOIS LAPIS di Surabaya ini merupakan bentuk ikhtiar untuk membenahi kesulitan dan kekurangan yang terjadi di kalangan madrasah. Hadir juga dalam kesempatan ini adalah lembaga Mitra yang senantiasa menjadi sumber belajar para trainer dan pengurus PSW dalam melakukan kaji tindak terhadap program yang akan dibuat selama kegiatan ini berlangsung. Lembaga Mitra itu adalah MIN Malang I yang secara kualitas sudah terbukti keunggulan dan kualitasnya baik dalam ranah prestasi akademik maupun prestasi non akademik. Di samping MIN Malang I, ikut diundang juga Kepala Mapenda dari berbagai wilayah Indonesia meliputi Mapenda Mataram, Surabaya, Malang, Bone dan Semarang, juga perwakilan dari madrasah mitra dari gresik dan sidoarjo . Selama 4 hari ini semua peserta diharapkan mampu menghasilkan tools yang bisa diterapkan oleh madrasah binaan masing-masing PSW untuk meningkatkan kinerja dan kualitas madrasah itu sendiri. Berikut ini adalah gambar-gambar kegiatan capacity building sampai hari ketiga ini:
Rabu, 01 Juli 2009
Profil Pengurus LPPM-PSW Unisma
Pengurus Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat - Pusat Studi Wanita ( LPPM-PSW Unisma) periode 2001 - 2011 adalah sebagai berikut :
1. Dr. H. Masykuri Bakri, M.Si
Beliau ini adalah Ketua LPPM Unisma dan sekaligus menjadi pengarah pada semua kegiatan yang diselenggarakan oleh PSW Unisma. Di samping jabatannya sebagai Ketua LPPM, beliau juga Ketua Jaringan Peneliti Nasional ( Jarlitnas ) PTAIS. Sehari-harinya beliau adalah dosen Fakultas Agama Islam ( FAI ) Unisma.
2. Dr. Hj. Diah Werdiningsih, M.Pd
Beliau adalah Sekretaris LPPM Unisma dan bersama-sama dengan jajaran pengurus PSW bahu membahu mengelola kegiatan dan program kerja PSW Unisma. Sehari-harinya beliau adalah dosen Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan ( FKIP ) Unisma.
3. Dr. Mudawamah, M.Si
Beliau adalah Koordinator sekaligus Ketua Pusat Studi Wanita ( PSW ) Unisma. Beliau juga menjabat berbagai kepengurusan di organisasi internal Unisma maupun di luar Unisma. Keseharian beliau adalah dosen Fakultas Peternakan ( Fapet ) Unisma
Beliau adalah Koordinator sekaligus Ketua Pusat Studi Wanita ( PSW ) Unisma. Beliau juga menjabat berbagai kepengurusan di organisasi internal Unisma maupun di luar Unisma. Keseharian beliau adalah dosen Fakultas Peternakan ( Fapet ) Unisma
4. Dra. Hj. Muthmainnah, M.Si
Beliau adalah Anggota Pusat Studi Wanita ( PSW ) Unisma. Beliau sudah sejak lama berkecimpung di dunia organisasi baik dalam ranah keagamaan maupun sosial kependidikan. Begitu juga dalam dunia politik, beliau pernah menjabat sebagai anggota KPU Kota Malang. Sekarang ini aktifitas keseharian beliau adalah dosen Fakultas Keguruan ilmu Pendidikan ( FKIP )
Beliau adalah Anggota Pusat Studi Wanita ( PSW ) Unisma. Beliau sudah sejak lama berkecimpung di dunia organisasi baik dalam ranah keagamaan maupun sosial kependidikan. Begitu juga dalam dunia politik, beliau pernah menjabat sebagai anggota KPU Kota Malang. Sekarang ini aktifitas keseharian beliau adalah dosen Fakultas Keguruan ilmu Pendidikan ( FKIP )
5. Ir. Asmaniyah, MP
Beliau adalah Anggota Pusat Studi Wanita ( PSW ) Unisma. Beliau sudah sejak lama berkecimpung di dunia organisasi baik dalam ranah keagamaan maupun sosial kependidikan. Beliau sangat intens dalam dunia pendidikan dan dalam keseharian beliau hingga sekarang ini mengajar di Fakultas Pertanian ( FPT ) Unisma
Beliau adalah Anggota Pusat Studi Wanita ( PSW ) Unisma. Beliau sudah sejak lama berkecimpung di dunia organisasi baik dalam ranah keagamaan maupun sosial kependidikan. Beliau sangat intens dalam dunia pendidikan dan dalam keseharian beliau hingga sekarang ini mengajar di Fakultas Pertanian ( FPT ) Unisma
6. Dra. Hj. Chalimatus Sa'diyah
Beliau adalah Anggota Pusat Studi Wanita ( PSW ) Unisma. Beliau sudah sejak lama berkecimpung di dunia organisasi baik dalam ranah keagamaan maupun sosial kependidikan. Beliau sangat intens dalam dunia pendidikan dan dalam keseharian beliau hingga sekarang ini mengajar di Fakultas Agama Islam ( FAI ) Unisma
7. Khoirul Asfiyak, M.HI
Beliau adalah Anggota Pusat Studi Wanita ( PSW ) Unisma. Di samping itu jabatan beliau yang lainnya adalah Sekretaris pada Jaringan Peneliti Nasional ( Jarlitnas ) PTAIS. Sehari-harinya beliau adalah dosen Fakultas Agama Islam ( FAI ) Unisma.
Beliau adalah Anggota Pusat Studi Wanita ( PSW ) Unisma. Di samping itu jabatan beliau yang lainnya adalah Sekretaris pada Jaringan Peneliti Nasional ( Jarlitnas ) PTAIS. Sehari-harinya beliau adalah dosen Fakultas Agama Islam ( FAI ) Unisma.
8. Suhartini, SH
Beliau adalah Staff pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat - Pusat Studi Wanita ( LPPM-PSW Unisma) periode 2001 - 2011.
9. Ir. Sutiyo
Beliau adalah Staff pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat - Pusat Studi Wanita ( LPPM-PSW Unisma) periode 2001 - 2011.
10. Fauriyanti, SE
Beliau adalah Staff pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat - Pusat Studi Wanita ( LPPM-PSW Unisma) periode 2001 - 2011.
11. Drs. M. Zaenuddin
11. Drs. M. Zaenuddin
Beliau adalah Staff pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat - Pusat Studi Wanita ( LPPM-PSW Unisma) periode 2001 - 2011.
Senin, 29 Juni 2009
Konstruksi Gender
Apa itu gender?. Gender merupakan sifat, peran, posisi atau status laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Hal tersebut berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat kodrati. Laki-laki dan perempuan memang berbeda tetapi perbedaan tersebut ternyata tidak sama kadarnya. Ada yang bersifat menetap dan ada yang bersifat relatif. Perbedaan yang menetap terdapat pada perbedaan jenis kelamin. Perbedaan tersebut adalah perbedaan kodrati dan sudah ada sejak mereka dilahirkan. Perbedaan tersebut sangat khas sehingga tidak dapat ditemukan pada jenis kelamin yang lain.
Perbedaan kodrati ini bersifat universal dalam arti bahwa laki-laki dan perempuan di manapun berada, secara lintas benua, lintas ras dan etnitas memiliki aspek kodrati yang sama. Kondisi ini dikaitkan dengan aspek-aspek yang bersifat biologis.
Aspek-aspek biologis dapat diklasifikasikan menjadi dua: aspek biologis primer dan sekunder. Aspek biologis primer pada diri laki-laki adalah alat kelaminnya yang khas dan produksi sperma. Sedangkan aspek biologis perempuan primer adalah alat kelamin perempuan yang khas dan fungsi rahim. Sementara aspek biologis laki-laki yang sekunder adalah jakun, kumis, bentuk tubuh dan otot yang besar. Sedangkan aspek biologis sekunder perempuan adalah payudara, kulit yang lebih halus dan bentuk serta tubuh yang relatif lebih kecil. Kondisi inilah yang disebut dengan ”Identitas Jenis Kelamin”
Disamping adanya perbedaan biologis, baik primer maupun yang sekunder, ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat relatif, kontektual dan kondisional. Perbedaan yang relatif ini umumnya terkait dengan sifat, peran dan posisi sosial yang ’dipandang pantas dan seharusnya’ untuk laki-laki dan perempuan. Oleh karena ukuran pantas itu berlainan dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya maka perbedaan ini disebut perbedaan relatif. Tetapi pada intinya sifat, peran dan posisi tersebut dapat ditemukan pada diri laki-laki dan perempuan. Misalnya, sifat lembut dan penuh perhatian sebenarnya bukan semata sifat perempuan. Ada banyak kaum laki-laki yang tidak kalah lembut dibandingkan dengan perempuan. Demikian pula ada banyak perempuan yang bersifat tegas bahkan juga dapat berlaku agresif. Dari sisi peran, tidak hanya ibu yang memasak tetapi lelaki juga mampu menjadi koki handal seperti Rudi Khoirudin. Jika posisi mencari uang untuk keluarga diasumsikan sebagai tugas laki-laki maka sebenarnya banyak dilakukan juga oleh kaum perempuan. Perbedaan yang relatif dan kondisional ini disebut ”Identitas Gender”.
Identitas jenis kelamin seringkali dikaitkan dengan keadaan alamiyah laki-laki dan perempuan. Sedangkan identitas gender adalah kondisi menjadi laki-laki dan perempuan dalam kultur tertentu.
Bahasa Indonesia tidak memiliki istilah yang variatif untuk menyebut perbedaan jenis kelamin dan gender. Apakah kata-kata laki-laki dan perempuan dapat dirujuk pada jenis kelamin dan laki-laki dan perempuan adalah identitas gender? Hal tersebut masih menjadi perdebatan. Istilah laki-laki dan perempuan berasal dari bahasa Melayu. Sedangkan istilah pria dan wanita berasal dari bahasa Jawa. Kita dapat melihat berbedaan tersebut dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dalam bahasa Inggris identitas jenis kelamin disebut sebagai sex identity: male and female sedangkan identitas gender adalah men and women. Dalam bahasa Arab identitas jenis kelamin dan gender disebut jinsun: adz-dzakar wa al- unsta adalah identitas jenis kelamin sedangkan identitas gender disebut arrajul wa an-nisa’ dengan sifat mudzakar dan muanas adalah identitas gender.
Pembagian gender di atas merupakan bentuk penyederhanaan dari fakta yang ada dalam masyarakat. Pada kenyataannya, baik sifat, peran, posisi maupun tanggung jawab dapat ditemukan secara lintas kategori antara laki-laki dan perempuan. Bukan suatu yang berlebihan jika saat ini banyak kaum perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga dan berkiprah diberbagai profesi dan pekerjaan. Sebaliknya, makin banyak pula kaum laki-laki yang terlibat dalam urusan domestik karena profesi. Misalnya laki-laki yang berprofesi sebagai pengacara atau teknisi computer dapat melakukan pekerjaannya dirumah.
Sampai saat ini masih ditemukan kecenderungan pembakuan pembagian peran dan tanggung jawab seperti diatas. Namun pembakuan tersebut seringkali menimbulkan masalah karena cenderung menimbulkan stigmatisasi daripada menghargai dan menguatkan peran-peran tersebut. Tugas domestik seperti pekerjaan rumah dan merawat anak yang diyakini sebagai tugas kodrati perempuan saat ini telah banyak dilakukan oleh para bapak terutama didaerah perkotaan.
Kecenderungan pembakuan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan terjadi karena adanya tata nilai dan norma yang mengikat dalam kehidupan masyarakat. Dalam penyataaanya, peran dan tanggung jawab teresbut terus berubah karena dipengaruhi oleh perubahan sosio-kultural, politik, ekonomi dan perkembangan teknologi.
Pembagian dan pembakuan gender pada dasarnya tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan. Dalam banyak kajian terbukti bahwa pembakuan peran dan pandangan yang bias gender yang bersumber dari budaya patriarkhi dan matriarkhi berpotensi menimbulkan ketidakadilan biak pada perempuan maupun pada laki-laki. Budaya patriarkhi cenderung mengutamakan laki-laki lebih dari perempuan. Sebaliknya, budaya matriarkhi lebih mengunggulkan perempuan daripada laki-laki. Bias budaya patriarkhi dan matriarkhi berpotensi menimbulkan ketidakadilan gender
Aspek-aspek budaya yang bias patriarkhi dan bias matriarkhi sudah semakin tidak relevan jika dihadapkan dengan semangat zaman modern yang egaliter, demokratis dan berkeadilan. Budaya egaliter dan demokratis memberi penghargaan kepada seseorang berdasarkan kemampuan dan jasanya (meritocracy) bukan berdasarkan jenis kelamin atau gender. Budaya demokratis berbasis pada meritokrasi dan perlakuan khusus.
Dalam budaya yang berkeadilan, para pihak yang rentan dan mengalami diskriminasi dalam mendapat hak-hak dasarnya mendapatkan perlakuan khusus (affirmative action). Hak-hak dasar ini berupa hak pangan, kesehatan, pendidikan, partisipasi politik dan aktifitas ekonomi serta ekspresi kebudayaan. Perlakuan khusus diberikan dalam kurun waktu tertentu sampai laki-laki dan perempuan mencapai posisi yang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Seiring dengan perubahan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan perkembangan teknologi maka peran-peran sosial berubah secara sangat cepat bila dibandingkan dengan norma yang terkait dengan gender. Norma tersebut tidak mudah menyesuaikan karena terikat dengan keyakinan masyarakat. Kesenjangan antara norma dan peran gender kontemporer seringkali menimbulkan bias gender.
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan dapat memiliki akses yang sama dalam dunia publik. Namun demikian, masih banyak perempuan yang mengalami hambatan dalam mendapatkan akses dan partisipasi yang sama dengan laki-laki. Ini terjadi karena masih kuatnya norma masyarakat yang mengganggap bahwa tugas utama perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga.
Disisi lain, masyarakat dan dunia kerja masih belum menghargai tugas-tugas kerumahtanggaan sehingga seringkali menjadi hambatan karier perempuan. Misalnya, seorang perempuan yang sering meminta izin karena harus menunggui anggota keluarga yang sakit dianggap tidak profesional. Sementara itu, pembagian peran domestik yang tidak setara bagi perempuan bekerja menimbulkan beban berlebihan. Akar persoalannya adalah anggapan bahwa pekerjaan domestik tidak pantas dilakukan oleh laki-laki, bukan karena mereka tidak mampu melakukan.
Sumber : Buku Pegangan MBM 2B by: ELOIS - LAPIS
[ Baca Selengkapnya... ]
Aspek-aspek biologis dapat diklasifikasikan menjadi dua: aspek biologis primer dan sekunder. Aspek biologis primer pada diri laki-laki adalah alat kelaminnya yang khas dan produksi sperma. Sedangkan aspek biologis perempuan primer adalah alat kelamin perempuan yang khas dan fungsi rahim. Sementara aspek biologis laki-laki yang sekunder adalah jakun, kumis, bentuk tubuh dan otot yang besar. Sedangkan aspek biologis sekunder perempuan adalah payudara, kulit yang lebih halus dan bentuk serta tubuh yang relatif lebih kecil. Kondisi inilah yang disebut dengan ”Identitas Jenis Kelamin”
Disamping adanya perbedaan biologis, baik primer maupun yang sekunder, ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat relatif, kontektual dan kondisional. Perbedaan yang relatif ini umumnya terkait dengan sifat, peran dan posisi sosial yang ’dipandang pantas dan seharusnya’ untuk laki-laki dan perempuan. Oleh karena ukuran pantas itu berlainan dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya maka perbedaan ini disebut perbedaan relatif. Tetapi pada intinya sifat, peran dan posisi tersebut dapat ditemukan pada diri laki-laki dan perempuan. Misalnya, sifat lembut dan penuh perhatian sebenarnya bukan semata sifat perempuan. Ada banyak kaum laki-laki yang tidak kalah lembut dibandingkan dengan perempuan. Demikian pula ada banyak perempuan yang bersifat tegas bahkan juga dapat berlaku agresif. Dari sisi peran, tidak hanya ibu yang memasak tetapi lelaki juga mampu menjadi koki handal seperti Rudi Khoirudin. Jika posisi mencari uang untuk keluarga diasumsikan sebagai tugas laki-laki maka sebenarnya banyak dilakukan juga oleh kaum perempuan. Perbedaan yang relatif dan kondisional ini disebut ”Identitas Gender”.
Identitas jenis kelamin seringkali dikaitkan dengan keadaan alamiyah laki-laki dan perempuan. Sedangkan identitas gender adalah kondisi menjadi laki-laki dan perempuan dalam kultur tertentu.
Bahasa Indonesia tidak memiliki istilah yang variatif untuk menyebut perbedaan jenis kelamin dan gender. Apakah kata-kata laki-laki dan perempuan dapat dirujuk pada jenis kelamin dan laki-laki dan perempuan adalah identitas gender? Hal tersebut masih menjadi perdebatan. Istilah laki-laki dan perempuan berasal dari bahasa Melayu. Sedangkan istilah pria dan wanita berasal dari bahasa Jawa. Kita dapat melihat berbedaan tersebut dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dalam bahasa Inggris identitas jenis kelamin disebut sebagai sex identity: male and female sedangkan identitas gender adalah men and women. Dalam bahasa Arab identitas jenis kelamin dan gender disebut jinsun: adz-dzakar wa al- unsta adalah identitas jenis kelamin sedangkan identitas gender disebut arrajul wa an-nisa’ dengan sifat mudzakar dan muanas adalah identitas gender.
Pembagian gender di atas merupakan bentuk penyederhanaan dari fakta yang ada dalam masyarakat. Pada kenyataannya, baik sifat, peran, posisi maupun tanggung jawab dapat ditemukan secara lintas kategori antara laki-laki dan perempuan. Bukan suatu yang berlebihan jika saat ini banyak kaum perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga dan berkiprah diberbagai profesi dan pekerjaan. Sebaliknya, makin banyak pula kaum laki-laki yang terlibat dalam urusan domestik karena profesi. Misalnya laki-laki yang berprofesi sebagai pengacara atau teknisi computer dapat melakukan pekerjaannya dirumah.
Sampai saat ini masih ditemukan kecenderungan pembakuan pembagian peran dan tanggung jawab seperti diatas. Namun pembakuan tersebut seringkali menimbulkan masalah karena cenderung menimbulkan stigmatisasi daripada menghargai dan menguatkan peran-peran tersebut. Tugas domestik seperti pekerjaan rumah dan merawat anak yang diyakini sebagai tugas kodrati perempuan saat ini telah banyak dilakukan oleh para bapak terutama didaerah perkotaan.
Kecenderungan pembakuan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan terjadi karena adanya tata nilai dan norma yang mengikat dalam kehidupan masyarakat. Dalam penyataaanya, peran dan tanggung jawab teresbut terus berubah karena dipengaruhi oleh perubahan sosio-kultural, politik, ekonomi dan perkembangan teknologi.
Pembagian dan pembakuan gender pada dasarnya tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan. Dalam banyak kajian terbukti bahwa pembakuan peran dan pandangan yang bias gender yang bersumber dari budaya patriarkhi dan matriarkhi berpotensi menimbulkan ketidakadilan biak pada perempuan maupun pada laki-laki. Budaya patriarkhi cenderung mengutamakan laki-laki lebih dari perempuan. Sebaliknya, budaya matriarkhi lebih mengunggulkan perempuan daripada laki-laki. Bias budaya patriarkhi dan matriarkhi berpotensi menimbulkan ketidakadilan gender
Aspek-aspek budaya yang bias patriarkhi dan bias matriarkhi sudah semakin tidak relevan jika dihadapkan dengan semangat zaman modern yang egaliter, demokratis dan berkeadilan. Budaya egaliter dan demokratis memberi penghargaan kepada seseorang berdasarkan kemampuan dan jasanya (meritocracy) bukan berdasarkan jenis kelamin atau gender. Budaya demokratis berbasis pada meritokrasi dan perlakuan khusus.
Dalam budaya yang berkeadilan, para pihak yang rentan dan mengalami diskriminasi dalam mendapat hak-hak dasarnya mendapatkan perlakuan khusus (affirmative action). Hak-hak dasar ini berupa hak pangan, kesehatan, pendidikan, partisipasi politik dan aktifitas ekonomi serta ekspresi kebudayaan. Perlakuan khusus diberikan dalam kurun waktu tertentu sampai laki-laki dan perempuan mencapai posisi yang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Seiring dengan perubahan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan perkembangan teknologi maka peran-peran sosial berubah secara sangat cepat bila dibandingkan dengan norma yang terkait dengan gender. Norma tersebut tidak mudah menyesuaikan karena terikat dengan keyakinan masyarakat. Kesenjangan antara norma dan peran gender kontemporer seringkali menimbulkan bias gender.
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan dapat memiliki akses yang sama dalam dunia publik. Namun demikian, masih banyak perempuan yang mengalami hambatan dalam mendapatkan akses dan partisipasi yang sama dengan laki-laki. Ini terjadi karena masih kuatnya norma masyarakat yang mengganggap bahwa tugas utama perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga.
Disisi lain, masyarakat dan dunia kerja masih belum menghargai tugas-tugas kerumahtanggaan sehingga seringkali menjadi hambatan karier perempuan. Misalnya, seorang perempuan yang sering meminta izin karena harus menunggui anggota keluarga yang sakit dianggap tidak profesional. Sementara itu, pembagian peran domestik yang tidak setara bagi perempuan bekerja menimbulkan beban berlebihan. Akar persoalannya adalah anggapan bahwa pekerjaan domestik tidak pantas dilakukan oleh laki-laki, bukan karena mereka tidak mampu melakukan.
Sumber : Buku Pegangan MBM 2B by: ELOIS - LAPIS
Langganan:
Postingan (RSS)